Kota ini terletak di tengah-tengah kabupaten Magelang. Karena memang dulunya Kota Magelang adalah ibukota dari Kabupaten Magelang
sebelum mendapat kebijakan untuk mengurus rumah tangga sendiri sebagai
sebuah kota baru. Kota Magelang memiliki posisi yang strategis, karena
berada di jalur utama Semarang-Yogyakarta. Kota Magelang berada di 15 km
sebelah Utara Kota Mungkid, 75 km sebelah selatan Semarang, dan 43 km sebelah utara Yogyakarta.
Hari Jadi Kota Magelang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota
Magelang Nomor 6 Tahun 1989, bahwa tanggal 11 April 907 Masehi merupakan
hari jadi. Penetapan ini merupakan tindak lanjut dari seminar dan
diskusi yang dilaksanakan oleh Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Magelang
bekerjasama dengan Universitas Tidar Magelang dengan dibantu pakar
sejarah dan arkeologi Universitas Gajah Mada, Drs.MM. Soekarto
Kartoatmodjo, dengan dilengkapi berbagai penelitian di Museum Nasional
maupun Museum Radya Pustaka-Surakarta. Kota Magelang mengawali
sejarahnya sebagai desa perdikan Mantyasih, yang saat ini dikenal dengan
Kampung Meteseh di Kelurahan Magelang. Di kampung Meteseh saat ini
terdapat sebuah lumpang batu yang diyakini sebagai tempat upacara
penetapan Sima atau Perdikan.
Untuk menelusuri kembali sejarah Kota Magelang, sumber prasasti yang
digunakan adalah prasasti Poh, prasasti Gilikan dan prasasti Mantyasih.
Ketiganya merupakan prasasti yang ditulis di atas lempengan tembaga.
Parsasti POH dan Mantyasih ditulis zaman Mataram Hindu saat
pemerintahan Raja Rake Watukura Dyah Balitung (898-910 M), dalam
prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa
Glangglang. Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh,
sedangkan Glangglang berubah menjadi Magelang.
Dalam Prasasti Mantyasih berisi antara lain, penyebutan nama Raja
Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka 829 Çaka bulan
Çaitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari
Senais Sçara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi tanggal 11
April 907. Dalam Prasasti ini disebut pula Desa Mantyasih yang
ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai Desa
Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat patih. Juga
disebut-sebut Gunung Susundara dan Wukir Sumbing yang kini dikenal dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.
Begitulah Magelang, yang kemudian berkembang menjadi kota selanjutnya menjadi ibukota Karesidenan Kedu dan juga pernah menjadi ibukota Kabupaten Magelang.
Setelah masa kemerdekaan kota ini menjadi kotapraja dan kemudian
kotamadya dan di era Reformasi, sejalan dengan pemberian otonomi
seluas-luasnya kepada daerah, sebutan kotamadya ditiadakan dan diganti menjadi kota.
Ketika Inggris menguasai Magelang pada abad ke 18, dijadikanlah kota
ini sebagai pusat pemerintahan setingkat Kabupaten dan diangkatlah Mas
Ngabehi Danukromo sebagai Bupati pertama. Bupati ini pulalah yang
kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan membangun Alun - alun,
bangunan tempat tinggal Bupati serta sebuah masjid. Dalam perkembangan
selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karesidenan Kedu pada
tahun 1818.
Setelah pemerintah Inggris ditaklukkan oleh Belanda, kedudukan
Magelang semakin kuat. Oleh pemerintah Belanda, kota ini dijadikan pusat
lalu lintas perekonomian. Selain itu karena letaknya yang strategis,
udaranya yang nyaman serta pemandangannya yang indah Magelang kemudian
dijadikan Kota Militer: Pemerintah Belanda terus melengkapi sarana dan
prasarana perkotaan. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota
pada tahun 1918, perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927, dan
jalan-jalan arteri diperkeras dan diaspal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar