Lampung adalah sebuah
provinsi paling selatan di Pulau
Sumatera,
Indonesia. Di sebelah utara berbatasan dengan
Bengkulu dan
Sumatera Selatan.
Provinsi Lampung dengan ibukota
Bandar Lampung, yang merupakan gabungan dari kota kembar
Tanjungkarang dan
Telukbetung memiliki wilayah yang relatif luas, dan menyimpan potensi kelautan. Pelabuhan utamanya bernama Pelabuhan Panjang dan
Pelabuhan Bakauheni serta pelabuhan nelayan seperti Pasar Ikan (Telukbetung), Tarahan, dan Kalianda di Teluk Lampung.
Sedangkan di Teluk Semangka adalah Kota Agung (
Kabupaten Tanggamus),
dan di Laut Jawa terdapat pula pelabuhan nelayan seperti Labuhan
Maringgai dan Ketapang. Di samping itu, Kota Menggala juga dapat
dikunjungi kapal-kapal nelayan dengan menyusuri sungai Way Tulang
Bawang, adapun di Samudra Indonesia terdapat Pelabuhan Krui.
Lapangan terbang utamanya adalah "
Radin Inten II",
yaitu nama baru dari "Branti", 28 Km dari Ibukota melalui jalan negara
menuju Kotabumi, dan Lapangan terbang AURI terdapat di Menggala yang
bernama Astra Ksetra. Secara Geografis Provinsi Lampung terletak pada
kedudukan : Timur - Barat berada antara : 103o 40' - 105o 50' Bujur
Timur Utara - Selatan berada antara : 6o 45' - 3o 45' Lintang Selatan
Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan
ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi
Undang-undang Nomor 14 tahun 1964. Sebelum itu Provinsi Lampung
merupakan Karesidenan yang tergabung dengan
Provinsi Sumatera Selatan.
Kendatipun Provinsi Lampung sebelum tanggal 18 maret 1964 tersebut
secara administratif masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatera
Selatan, namun daerah ini jauh sebelum Indonesia merdeka memang telah
menunjukkan potensi yang sangat besar serta corak warna kebudayaan
tersendiri yang dapat menambah khasanah adat budaya di Nusantara yang
tercinta ini. Oleh karena itu pada zaman VOC daerah Lampung tidak
terlepas dari incaran penjajahan Belanda.
Wilayah Lampung pernah menjadi wilayah kekuasaan
Kerajaan Sunda. Waktu
Kesultanan Banten menghancurkan
Pajajaran,
ibu kota Kerajaan Sunda maka Hasanuddin, sultan Banten yang pertama,
mewarisi wilayah tersebut dari Kerajaan Sunda. Hal ini dijelaskan dalam
buku The Sultanate of Banten tulisan Claude Guillot pada halamaan 19
sebagai berikut: From the beginning it was abviously Hasanuddin's
intention to revive the fortunes of the ancient kingdom of Pajajaran for
his own benefit. One of his earliest decisions was to travel to
southern Sumatra, which in all likelihood already belonged to Pajajaran,
and from which came bulk of the pepper sold in the Sundanese region.
[3]
Tatkala Banten dibawah pimpinan Sultan Agung Tirtayasa (1651-1683)
Banten berhasil menjadi pusat perdagangan yang dapat menyaingi VOC di
perairan Jawa, Sumatra dan Maluku. Sultan Agung ini dalam upaya
meluaskan wilayah kekuasaan Banten mendapat hambatan karena
dihalang-halangi VOC yang bercokol di Batavia. Putra Sultan Agung
Tirtayasa yang bernama Sultan Haji diserahi tugas untuk menggantikan
kedudukan mahkota kesultanan Banten.
Dengan kejayaan Sultan Banten pada saat itu tentu saja tidak
menyenangkan VOC, oleh karenanya VOC selalu berusaha untuk menguasai
kesultanan Banten. Usaha VOC ini berhasil dengan jalan membujuk Sultan
Haji sehingga berselisih paham dengan ayahnya Sultan Agung Tirtayasa.
Dalam perlawanan menghadapi ayahnya sendiri, Sultan Haji meminta bantuan
VOC dan sebagai imbalannya Sultan Haji akan menyerahkan penguasaan atas
daerah Lampung kepada VOC. Akhirnya pada tanggal 7 April 1682 Sultan
Agung Tirtayasa disingkirkan dan Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan
Banten.
Dari perundingan-perundingan antara VOC dengan Sultan Haji
menghasilkan sebuah piagam dari Sultan Haji tertanggal 27 Agustus 1682
yang isinya antara lain menyebutkan bahwa sejak saat itu pengawasan
perdagangan rempah-rempah atas daerah Lampung diserahkan oleh Sultan
Banten kepada VOC yang sekaligus memperoleh monopoli perdagangan di
daerah Lampung.
Pada tanggal 29 Agustus 1682 iring-iringan armada VOC dan Banten
membuang sauh di Tanjung Tiram. Armada ini dipimpin oleh Vander Schuur
dengan membawa surat mandat dari Sultan Haji dan ia mewakili Sultan
Banten. Ekspedisi Vander Schuur yang pertama ini ternyata tidak berhasil
dan ia tidak mendapatkan lada yag dicari-carinya. Agaknya perdagangan
langsung antara VOC dengan Lampung yang dirintisnya mengalami kegagalan,
karena ternyata tidak semua penguasa di Lampung langsung tunduk begitu
saja kepada kekuasaan Sultan Haji yang bersekutu dengan kompeni, tetapi
banyak yang masih mengakui Sultan Agung Tirtayasa sebagai Sultan Banten
dan menganggap kompeni tetap sebagai musuh.
Sementara itu timbul keragu-raguan dari VOC apakah benar Lampung
berada dibawah Kekuasaan Sultan Banten, kemudian baru diketahui bahwa
penguasaan Banten atas Lampung tidak mutlak.
Penempatan wakil-wakil Sultan Banten di Lampung yang disebut "Jenang"
atau kadangkadang disebut Gubernur hanyalah dalam mengurus kepentingan
perdagangan hasil bumi (lada).
Sedangkan penguasa-penguasa Lampung asli yang terpencar-pencar pada
tiap-tiap desa atau kota yang disebut "Adipati" secara hirarkis tidak
berada dibawah koordinasi penguasaan Jenang/ Gubernur. Jadi penguasaan
Sultan Banten atas Lampung adalah dalam hal garis pantai saja dalam
rangka menguasai monopoli arus keluarnya hasil-hasil bumi terutama lada,
dengan demikian jelas hubungan Banten-Lampung adalah dalam hubungan
saling membutuhkan satu dengan lainnya.
Selanjutnya pada masa Raffles berkuasa pada tahun 1811 ia menduduki
daerah Semangka dan tidak mau melepaskan daerah Lampung kepada Belanda
karena Raffles beranggapan bahwa Lampung bukanlah jajahan Belanda. Namun
setelah Raffles meninggalkan Lampung baru kemudian tahun 1829 ditunjuk
Residen Belanda untuk Lampung.